Melihat situasi yang ada.. Kulihat bahwa semua ini berawal dari surat yang berikutnya di selewengkan jadi topik utama kenapa bioskop kehilangan film Luar. Surat yang memberitahu (saran) agar pajak dibayar dengan benar.. Terbaca atau didengar sebagai pernyataan pajak akan bertambah.
jadi kesimpulannya dasar dari surat tersebut, terjadi penyelewengan bahasa.
Sementara gw turut berduka atas kenyataan pahit. Negara kita berani menarik biaya besar dari orangnya sendiri daripada orang luar yang notabene lebih kaya. Bisa dibilang, orang luar jual film cuma ngasi 1 dokumen yg isinya 1 macam pajak yaitu biaya impor.. Tapi buat orang Indonesia, dikasi 10 dokumen yang berisi 10 macam pajak.
Secara normal ini dapat diterima, karena kita tidak bisa mempajaki lain-lainnya. Tetapi ada satu hal yang miris.. Jumlah pajak impor tersebut malah lebih murah daripada biaya pajak Indonesia.
Mungkin pajak kita lebih murah, tetapi kita ditunjukkan berkas-berkas segunung, manalagi mengurusnya tidak 1/2x jalan.. berkali-kali.. Sementara pajak impor yang notabene cuma kasi film lalu selesai. Tapi apa cuma itu aja masalahnya? Kurasa tidak
Perfilman Indonesia bisa dibilang terpuruk, alasan utamanya karena para rakyat Indonesia sendiri. Mental kita sudah rusak, terbukti kita lebih menyukai hal-hal yang tidak sehat buat kehidupan (rohani) dibandingkan menghindarinya.
Hal ini terbukti dari film yang kita tonton tdak sehat seperti Sinet, film hantu=hantu, Infotaiment dll. Di LN mungkin separah kita, tetapi mereka mampu membatasi diri!! dimana kita agak kurang dalam kontrol tersebut.
Dengan adanya pajak sana-sini, akhirnya orang2 sineas film lebih mementingkan membuat film yg non-seni dibandingkan film seni. yang saya maksud adalah film yang akan menghasilkan uang. Sehingga film yang pasti akan menghasilkan uang saja yang keluar, film yang 2nd grade tidak akan keluar.
Parahnya ada film 3rd Grade yang bisa dibilang gk jauh dari S*x, P*rno dan Hantu-hantu. Film ini kacaunya lebih murah bikinnya en hasil yang didapat juga besar. Apalagi dengan bintang yang sexy seperti Miyabi
Ditambah lagi film itu memiliki kontra di masyarakat, yang bukannya bikin orang pengen muntah denger namanya.. malah berbondong-bondong melihatnya. sebuah cara kotor yang tidak pantas. yaitu membuat film dia terhujat en bikin orang berbondong=bondong melihatnya.
Apalagi hantu-hantuan yang jelas merusak image Indonesia. Negara kita memiliki ratusan seniman film, grafis dan lain-lain. Tetapi mereka harus menjatuhkan harga diri mereka untuk membuat film berjudul "hantu ngesot jadi pocong".. yang jelas-jelas keluar dari kemampuan mereka yang lebih.
Akhir kata..
- Pajak adalah kewajiban, tetapi masih ada orang yang tidak memikirkan bagaimana pantasnya pajak diberikan. Seharusnya perpajakan memberikan biaya yang benar, bukan seenak perutnya saja.
- Sementara itu berikan keringanan pada perfilman Indonesia, misalnya pajak yang lebih ringan dan lebih mudah, para pembuat Film taat pajak kok, tetapi akan lebih baik kalau diberikan fasilitas atau layanan yang mempermudah pemberian pajak. Selain itu mengurangi mafia pajak.
- Mental bangsa harus diperbaiki dengan tidak mengkonsumsi sampah..
- para sineas film harus lebih baik kedepannya agar tidak memproduksi sampah..
JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengatakan pihaknya masih terus mengevaluasi perihal pajak dan bea film impor. Kebijakan mengenai film impor masih dalam tahap pembahasan, jadi belum ada keputusan final maupun peningkatan pajak dan bea film impor.
Sebagai perbandingan, film impor itu kena pajak Rp 50 juta untuk satu film. Tapi film nasional yang biaya produksinya Rp 5 miliar, kena pajak Rp 500 juta. Ini enggak fair, masa untuk bangsa sendiri enggak fair
-- Jero Wacik
Keputusan final yang melibatkan berbagai instansi pemerintah yaitu Kemenbudpar, Kementrian Keuangan, dan Kementerian Perekonomian baru ada di bulan Maret 2011.
"Kita terus menggodok hal ini. Kita maunya film Indonesia terlindungi. Film impor terus berjalan. Bioskop makin tumbuh," ucapnya pada jumpa pers terkait kebijakan perfilman nasional dan masalah pajak film impor di Gedung Sapta Pesona Jakarta, Minggu (20/2/2011).
Ia menyebutkan selama ini pajak dan bea yang dibayarkan film impor lebih kecil daripada yang harus dikeluarkan untuk sebuah produksi film nasional. Karena itu, pihaknya dan Kementerian Keuangan merumuskan keringanan pajak dan bea untuk film nasional. Ia menambahkan kalau perlu film nasional tidak dikenakan PPN.
"Sebagai perbandingan, film impor itu kena pajak Rp 50 juta untuk satu film. Tapi film nasional yang biaya produksinya Rp 5 miliar, kena pajak Rp 500 juta. Ini enggak fair, masa untuk bangsa sendiri enggak fair," jelasnya.
Ia menuturkan tujuannya adalah jangan memberatkan insan film dalam negeri. Jero juga menyebutkan pemerintah tidak ingin mematikan film impor tapi perlu ada penataan ulang.
Ia pun mengatakan kebijakan film dan pajak adalah hak Indonesia sepenuhnya. "Kita bebas mengaturnya tanpa harus tunduk pada tekanan-tekanan pihak asing," ucapnya.
Sehubungan dengan surat edaran Dirjen Pajak tanggal 10 Januari 2011, Jero mengatakan bahwa dalam surat tidak menyebutkan kenaikan pajak impor, namun menegaskan agar importir membayar pajak yang benar dan wajar sesuai peraturan pajak yang berlaku.
Saat ditanyakan mengenai film impor akan berhenti masuk, Jero menjawab bahwa pasar Indonesia begitu besar jadi tidak mungkin dilepas. Pemerintah berencana sesuai UU No. 33 tahun 2009 bahwa bioskop memutar film nasional sebesar 60 persen.
Perbandingan film nasional dan film impor di tahun 2009, film nasional 78 judul sementara film impor 204 judul. Sedangkan di tahun 2010, film nasional hanya 77 judul, sangat jauh angkanya dengan film impor sebanyak 192 judul.
Jero berharap dengan kebijakan keringanan pajak untuk film nasional, maka film dalam negeri bisa bergairah dan terpacu membuat film lebih dari 200 judul.
0 komentar:
Posting Komentar