shoutmix

24 Februari 2010

blog

Tapi di tengah gelombang penolakan terhadap RPM Konten, rasanya, bagi saya, kurang bertanggung jawab apabila diam saja.

Begini, suka atau tidak, pada akhirnya konten yang mengisi laman website, yang mengisi ruang-ruang publik, perlu diatur. Mengapa perlu diatur? Ada banyak argumen, baik yang populis, asal bekoar, sampai yang akademik (atau pura-pura akademik) ilmiah. Apapun argumen, yang pasti sudah terjadi, banyak peristiwa di masyarakat yang sebetulnya tidak perlu terjadi (kasus Prita, kasus anak sekolah diterminasi gara-gara menggunakan facebook untuk hujat gurunya, sesama teman saling ledek akhirnya dipolisikan, dll) seandainya sejak mula dini hari Pak Pemerintah tanggap sigap menyediakan kerangka hukum dan kebijakan
yang jelas, tegas, lugas dan tersosialisasikan dengan baik.

Jadi, singkat cerita pengaturan dan peraturan konten Internet diperlukan. Lantas mengapa timbul gelombang penolakan? Bisa macam-macam sebab. Dari alasan politik tingkat tinggi seperti, pokoknya apapun yang dibuat Pemerintah tolak. Ketidak-berhasilan pemerintah sebangun dengan kegagalan partai berkuasa. Siapa yang kemungkinan menggunakan alasan ini? Partai pesaing, bisa yang sekasur (sekarang sedang berkoalisi) bisa pula partai seberang rumah (oposisi).

Ada juga alasan lain. Ndak suka sama menteri. Pokoknya apapun yang diperbuat oleh menteri ditolak? Mengapa demikian? Mungkin kecewa karena jagoannya tak berhasil jadi menteri, kecewa karena tidak jadi dapat proyek, atau menganggap si menteri tidak pantas duduk di situ. dll. Siapa yang kemungkinan besar beralasan ini? Bisa teman separtai, bisa birokrat di bawahnya, bisa siapa saja.

Apa lagi alasan lain? Banyak. Tapi intinya,
takut. Ya, takut karena kenyamanannya akan terganggu, takut karena kebebasan yang sudah dinikmati terampas, takut karena akan kehilangan rejeki, dlsb.

Nah saya menyoroti kelompok ketiga ini saja, mereka yang takut, apapun penyebabnya. Takut dapat disebabkan tidak tahu detil informasi tentang suatu perkara (dalam hal ini RPM Konten), belum baca tuntas, baru dengar katanya, langsung terangsang, dan komentar, melawan. Takut dapat juga disebabkan karena sudah tahu resiko yang akan dihadapi tapi masih belum siap menghadapi kenyataan yang mungkin akan dirasakan.

Nah persoalan dengan RPM Konten ini saya kira, pembuatnya tidak punya horison perasaan, jangkauan jiwa yang luas, menyelami psikologi massa, memahami perubahan batas-batas keberlakuan sebuah teknologi yang telah terbukti mengubah perilaku, dan dalam hal tertentu, tatanan sosial. Barangkali para pembuatnya, masih asyik pada tataran lexicon, semantik, bermain kata dan kalimat, tapi belum
punya kesadaran masuk ke tataran jiwa regulasi, roh pengaturan, filosofi keseimbangan antara kebebasan dan batasan.

Tanpa bermaksud menuduh atau menghakimi, saya menduga, referensi dalam membuat RPM Konten masih relatif sedikit, walau dikatakan oleh humas kementerian sudah dikaji lama sekali. Bicara soal waktu, ini juga - sekali lagi - menunjukkan kelemahan sosialisasi RPM Konten ini. Lamanya pembahasan tidak atau kurang berkorelasi dengan kualitas dan tingkat penerimaan RPM ini oleh masyarakat. Walau sudah dibahas puluhan tahun, kalau jeblok, yang membahasnya mediocre sama saja, bukan?

Kalau menggunakan istilahnya Prof John Thomas, gurunya Pak Naswil di Milpitas, untuk membuat regulasi yang baik, perlu didukung data yang baik. Data biasanya diperoleh dari riset. Pertanyaannya, sudahkah riset yang mendukung pembuatan RPM Konten ini dilakukan? Pertanyaan ini saya ajukan, karena empirik membuktikan dari seratus regulasi, delapan puluh tiga
dibuat begitu saja, karena ada perintah atasan, hanya untuk memenuhi amanat undang-undang, merespon kejadian di masyarakat. Entah alasan mana yang mendasari dibuatnya RPM Konten ini.

Masih kata Pak Thomas, regulasi yang buruk tercermin dari resistensi publik. Kenapa buruk? Ambigu, buram alias tidak jelas definisi dan batasan. Tak tentu arah alias ndak jelas yang mau diatur apa, siapa, di mana. Loyo alias tidak bisa di-enforce, lantaran petugas yang meng-enforce tak paham apa yang mesti dilakukan, lantaran yang diatur lebih kuat dari yang mengatur. Imposible alias mengatur sesuatu yang sangat sulit bahkan tak mungkin diatur karena sifat objek maupun subjek yang diatur. Dan masih ada beberapa tanda-tanda yang menunjukkan rendahnya kualitas regulasi.

Kembali ke RPM Konten, jadi bagaimana? Apa solusinya? Mbah Johnson, professor Komunikasi, dosennya Pak Naswil di Sunnyvile, berpesan, yang pertama, komunikasi is the best way to solve resistance
in new regulations issuance. Pendapat ini juga diamini oleh Prof Snyder, masih dosen temannya Pak Naswil ketika kuliah di Clementi. Hanya komunikasi? Tentu tidak. Kalau gitu apa dong!

Lha itu di atas sudah dikasih tahu ciri-ciri regulasi yang buruk, tinggal dibalik saja, tho? Hanya itu? Ada lagi. Apa itu? Dalam berkomunikasi dengan stakeholder, khususnya yang resisten terhadap RPM ini sebaiknya tidak arogan, merasa paling benar, merasa paling berkuasa, jelaskan dengan empathy.

Sudah dulu, mau meeting. Mohon maaf jika tidak berkenan, namun saya tetap berharap, semoga "spam" ini masih ada manfaatnya.

Success for Us, from
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi


Source:
Milis APWKomitel@yahoogroups.com

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger